Our Blog

Sikap Masyarakat Adat

SIKAP, PANDANGAN DAN MASUKAN ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN) KEPADA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA (MPR RI) atas PERUBAHAN KEEMPAT UUD 1945 pada SIDANG TAHUNAN MPR RI TAHUN 2002

Perubahan konstitusi, baik melalui Amandemen UUD 1945 maupun dengan pembuatan UUD yang baru, merupakan suatu keharusan untuk melakukan perbaikan menyeluruh terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Perjalanan bangsa dan negara yang terus menerus diwarnai oleh berbagai krisis dari mulai proklamasi kemerdekaan Indonesia sampai saat ini merupakan bukti yang tidak terbantahkan bahwa UUD 1945 sebagai landasan penyelenggaraan negara tidak memadai untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Bukti utama yang paling mencolok dari tidak memadainya UUD 1945 sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah kondisi komunitas-komunitas masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara -- secara keseluruhan jumlahnya saat ini kami perkirakan antara 50 – 70 juta orang – yang tertindas secara hukum, terpinggirkan secara ideologis dan politik, termajinalisakan secara ekonomi dan menjadi minoritas secara spritual dan kultural. UUD 1945 -- khususnya sebelum adanya amandemen pertama sampai ketiga -- sama sekali tidak mampu melindungi hak-hak masyarakat adat yang merupakan hak asal usul/hak tradisional yang sudah diwariskan dari para leluhur secara turun temurun sebelum Negara Republik Indonesia ada. Hak-hak asal-usul tersebut antara lain: (a) Hak untuk memiliki, mengkontrol dan mengelola sumberdaya alam yang ada di wilayah adatnya masing-masing; (b) Hak untuk mengatur dan mengurus dirinya sebagai komunitas adat sesuai hukum dan kelembagaan adat yang berlaku di masing-masing komunitasnya; (c) Hak untuk memelihara identitas budaya dan keyakinan spritualnya (agama asli) yang bersifat lokal; (d) Hak untuk mengakui dan menentukan keberadaannya sebagai masyarakat adat berdasarkan asal-usul leluhur.

Berdasarkan hak-hak azasi masyarakat adat tersebut di atas maka sudah menjadi keharusan bagi UUD – baik hasil amandemen terhadap UUD 1945 maupun UUD baru nanti – untuk secara tegas dan jelas memberikan pengakuan, perhormatan dan juga perlindungan bagi masyarakat adat sebagai struktur utama pembentuk Negara BHINNEKA TUNGGAL IKA Republik Indonesia.

“Kembali ke ADAT, kembali ke nilai-nilai budaya luhur warisan asli Bangsa Indonesia, juga berarti kita kembali ke Negara BHINNEKA TUNGGAL IKA Republik Indonesia sesuai dengan cita-cita para Pendiri Bangsa”.

Kami mengakui bahwa hak-hak masyarakat adat tersebut, walaupun rumusannya masih belum secara jelas dan tegas, sudah termuat dalam isi amandemen UUD 1945, khususnya amandemen kedua, yaitu pada pasal 18B ayat (2) Bab VI tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya …….”. Juga pada pasal 28-I ayat (3) Bab X A tentang Hak Azasi Manusia juga telah menegaskan bahwa “identitas budaya dan hak tradisional masyarakat hukum adat dihormati” sebagai hak azasi manusia.

Atas dasar ini – dengan tetap menyadari adanya kelemahan-kelemahan dalam proses dan juga hasil perumusan amandemen UUD 1945 selama ini - kami dari AMAN sudah sepantasnya memberi penghargaan dan penghormatan yang tinggi kepada pimpinan dan seluruh anggota MPR RI.

Kami juga meyakini bahwa penghentian atas penindasan, ketidak-adilan dan pemiskinan yang dihadapi masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara tidak cukup hanga dengan adanya pasal-pasal sebagaimana kami sebutkan di atas. Tatanan politik nasional yang demokratis partisipatif merupakan prasyarat yang harus dimuat secara jelas dalam perubahan UUD 1945 ini. Dewan Nasional AMAN dalam Rapat Kerja III di Lampung Barat pada bulan Januari 2002 telah merumuskan bahwa demokrasi partisipatif -- yang memungkinkan keterlibatan seluas-luasnya bagi masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara dalam proses pembuatan kebijakan publik di tingkat lokal, daerah dan nasional -- hanya bisa diwujudkan apabila: (a) Sistem Pemilihan Umum (PEMILU) yang akan datang – mulai PEMILU 2004 - memungkinkan keikut-sertaan partai politik lokal dan calon independen (tanpa partai politik) untuk bersaing memperebutkan kedudukan sebagai anggota DPR RI dan DPRD (di tingkat kabupaten dan provinsi); (b) Pemilihan Presiden, Gubernur dan Bupati di masa yang akan datang – mulai PEMILU 2004 – dilakukan secara langsung yang pencalonannya memungkinkan bagi calon independen (tanpa partai politik).

Dalam kaitan tatanan politik baru ini kami perlu menyampaikan kembali kekecewaan kami atas rumusan amandemen ketiga UUD 1945 yang menutup peluang bagi calon independen (tanpa melalui partai politik) untuk dipilih menjadi Presiden secara langsung oleh rakyat (pada Pasal 6A Ayat (2)) dan juga untuk dipilih menjadi menjadi anggota DPR RI dan DPRD (pada Pasal 22E Ayat (3) Bab VIIB tentang Pemilihan Umum). Pasal-pasal ini menunjukkan bahwa tatanan politik berdasarkan amandemen UUD 1945 belum memenuhi dengan aspirasi politik masyarakat adat, khususnya beraliandi di AMAN, yang mengehendaki tatanan politik demokrasi partisipatif di Indonesia.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas, kami dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan sikap dan pandangan terhadap proses dan hasil-hasil perubahan UUD 1945, sebagai berikut:

1. Agar Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002 ini menuntaskan seluruh proses amandemen terhadap UUD 1945 sesuai dengan rencana yang telah disepakati sebelumnya.

2. Agar Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002 ini memutuskan tentang pembentukan Komisi Konstitusi yang sifatnya sementara (ad hoc) dengan tugas utama untuk melakukan penyempurnaan terhadap proses dan seluruh hasil perubahan UUD 1945, dari yang pertama sampai keempat.

3. Agar Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002 ini menyatakan bahwa UUD 1945 beserta seluruh hasil amandemennya berlaku sampai ada konstitusi (UUD) baru yang disusun secara terbuka dan partisipatif oleh Komisi Konstitusi dan hasil akhirnya kemudian disahkan oleh MPR RI sebagai Konsitusi Baru.

4. Agar Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002 ini memutuskan secara arif untuk tidak memberlakukan UUD 1945 dan perubahan-perubahannya sebagai konstitusi transisi dengan pembatasan waktu pemberlakuan. Pembatasan waktu seperti ini sangat berbahaya keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara karena membuka kemungkinan terjadinya krisis konstitusi yang lebih parah lagi apabila Komisi Konstitusi -- yang kami minta untuk dibentuk oleh MPR hasil PEMILU 2004 -- gagal menghasilkan konstitusi (UUD) baru. Kalau pada akhirnya Komisi Konstitusi gagal memfasilitasi penyusunan Konstitusi Baru maka UUD 1945 dan perubahannya (amandemen pertama sampai keempat) harus tetap berlaku sebagai hukum dasar yang sah bagi Negara Republik Indonesia.

Khusus untuk Rancangan Perubahan Keempat UUD 1945 yang akan segera dibahas dalam Rapat Komisi dan diputuskan dalam Rapat Paripurna, kami menyampaikan sikap, pandangan dan masukan-masukan sebagai berikut:

o Pasal 2 – Memilih alternatif 1 dengan usulan tambahan

Naskah alternatif 1:
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum, ditambah dengan Utusan Golongan yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang diatur oleh undang-undang.

Naskah alternatif 1 setelah usulan penambahan:

Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum, ditambah dengan Utusan Golongan yang dipilih melalui mekanisme pemilihan yang demokratis oleh golongan yang mengutusnya dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang diatur oleh undang-undang.

Alasan:

Utusan Golongan ini masih sangat perlu ada di MPR RI sebagai utusan dari kelompok masyarakat yang minoritas baik secara etnis, agama/spritual, budaya. Kami sangat berkepentingan dengan masuknya aspirasi kelompok-kelompok minoritas ini di MPR karena kondisi dan realitas kehidupan mereka tidak memungkinkan mempengaruhi proses-proses politik formal yang sudah dikuasai oleh kelompok-kelompok masyarakat dominan di sekitarnya. Kelompok minoritas etnis seperti ini misalnya: Orang Rimba di Jambi, Orang Sakai dan Orang Talang Mamak di Riau, Orang Punan dan kelompok suku-suku kecil Dayak yang tersebar di seluruh pelosok Kalimantan, Orang Bajau/Sama yang tersebar dalam kelompok-kelompok kecil di sebagian besar pelosok nusantara, dan banyak lagi lainnya. Kelompok minoritas agama terutama penganut agama-agama asli atau sistem religi lainnya yang sifatnya bersifat lokal seperti misalnya: Parmalim di Tano Batak, Aluk Todolo di Tana Toraja, Baduy di Banten, Mrapu dan agama semacamnya yang tersebar di NTT, dan banyak lagi lainnya. Khusus untuk Orang Baduy hal ini menjadi sangat penting karena mereka secara spritual aslinya tidak diperbolehkan untuk terlibat dalam segala urusan negara, termasuk ikut PEMILU.

o Pasal 29 Ayat (1) -- Memilih alternatif 1 (naskah asli UUD 1945), dan menolak sepenuhnya alternatif 2 dan alternatif 3.
o Pasal 29 Ayat (2) – Memilih alternatif 1 (naskah asli UUD 1945), dengan catatan.
Catatan untuk pasal ini:

Harus ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan agama dan apa yang dimaksud dengan kepercayaan. Dalam hal ini kami menuntut agar di dalam AGAMA ini masuk juga agama-agama asli yang sifatnya lokal dan sampai saat ini juga masih dianut dan dilakukan oleh sebagian masyarakat adat di pelosok nusantara.

o Pasal 31 Ayat (2) – Dirubah menjadi:

Negara wajib memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapat pendidikan dasar dan Pemerintah wajib membiayainya

Alasan:

Pendidikan dasar itu adalah hak warga negara, bukan kewajiban. Yang memiliki kewajiban untuk menyediakan/membiayai pendidikan dasar bagi warga negara adalah pemerintah. Dalam hal ini kami perlu mengingatkan bahwa masih ada sebagian (sangat) kecil dari masyarakat adat di pelosok nusantara yang karena keyakinan spritual-kulturalnya tidak menggunakan haknya untuk mendapatkan pendidikan dasar sebagaimana pengertian umum mengenai pendidikan, yaitu bersekolah di ruangan kelas.

o Pasal 31 Ayat (3) – Memilih alternatif 1, dengan perubahan menjadi:

Pemerintah wajib menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang bertumpu pada keragaman budaya lokal dan kebutuhan daerah alam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Alasan:

Pencantuman kata wajib sama alasannya dengan alasan untuk Pasal 31 ayat (2). Penambahan “yang bertumpu pada keragaman budaya lokal dan kebutuhan daerah” dimaksudkan agar hasil-hasil pendidikan yang diselenggarakan di daerah memberi manfaat utama bagi masyarakat dan daerah di mana pendidikan itu diselenggarakan. Adanya penekanan terhadap “keberagaman budaya lokal” ini dimaksudkan agar membuka kesempatan ke daerah untuk mengembangkan muatan-muatan lokal yang bisa membekali peserta didik (murid, mahasiswa, peserta pelatihan, dll.) dengan akhlak mulia sesuai budaya-adat setempat. Pendidikan nasional tidak boleh mencerabut anak didik dari akar budaya lokalnya.

o Pasal 31 Ayat (5) – Dirubah menjadi:

Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan nilai-nilai adat serta persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Alasan:

Perlunya penambahan “nilai-nilai adat” ini dimaksudkan untuk membentengi masyarakat Indonesia dari perbudakan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi dari luar. Nilai-nilai adat ini akan bisa menjadi penyaring terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi mana saja yang akan memberdayakan mereka dan mana saja yang justru akan menimbulkan pengrusakan buat mereka. Kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya alam sebagai salah-satu ekspresi nilai-nilai adat yang dimiliki masyarakat Indonesia telah dikenal luas diseluruh dunia karena kontribusi dan kekuatannya untuk melestarikan hutan, laut dan sebagainya. Pengetahuan dan teknologi tradisional seperti ini harus menjadi landasan/dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Untuk jangka panjang, hal ini sangat penting untuk mengembalikan dan menjaga harga diri dan martabat bangsa dalam pergaulan internasional.

Demikian sikap, pandangan dan masukan ini kami buat supaya mendapat perhatian Pimpinan dan Seluruh Anggota MPR RI dalam proses pembahasan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jakarta, 3 Agustus 2002

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara,
http://www.aman.or.id/#prs

SORKAM Designed by Templateism | Blogger Templates Copyright © 2014

Theme images by richcano. Powered by Blogger.